BSE, Koleksi Semen, Pemilihan Bull, dan Hormon dalam Proses Reproduksi


1. Mengetahui Tahapan-tahapan dari Breeding Soundness

Examination (BSE).

2. Mengetahui Proses Pengoleksian Semen.

3. Mengetahui Kriteria Pemelihan Bull yang Cocok untuk

dilakukan Pengkoleksian Semen.

4. Mengetahui Tingkah Laku dan Hormon yang Berperan

dalam Reproduksi Jantan.

5. Mengetahui Faktor-faktor & Mekanisme Terjadinya Libido.

 

 

 

  1. I. Tahapan-tahapan dari Breeding Soundness Examination (BSE).

Breeding Soundness Examination (BSE) merupakan pemeriksaan kemampuan dari bull untuk memproduksi sperma. Pemeriksaan ini dilakukan 30-60 hari sebelum musim perkawinan. BSE ini dibagi menjadi tiga (3).

  1. Diameter Scrotum

Pemeriksaan ini merupakan pelengkap dari pemeriksaan BSE. Diameter testis berhubungan langsung dengan kapasitas produksi sperma. Setiap gram testis dapat memproduksi 15 juta sperma/hari. Total produksi sperma paling sedikit 6 milyar perhari. Menurut penelitian besarnya sapi jantan merupakan faktor keturunan.

  1. Evaluasi Fisik

Pemeriksaan ini merupakan evaluasi dari keseluruhan dari penampilan bull. Evaluasi dilakukan secara internal dan eksternal

  1. Internal

Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan transrektal yatu mengevaluasi organ dan saluran reproduksi bull (Uretra, prostate, Vesika seminalis, ampula dan vasdeferens. Contoh yang sering terjadi adalah abnormalitas akibat inflamsi vesika seminalis, sehingga bull dapat menjadi infertile.

  1. Eksternal

Pada evaluasi ekternal ini dilakukan menjadi 3 bagian

  1. Evaluasi bentuk scrotum, evaluasi ini merupakan bagian terpenting dari pemeriksaan evaluasi eksternal.

Contohnya adalah pada bull yang scrotum testisnya menemepel pada tubuh, bull dapat menjadi subfertile akibat pengaturan suhu yang terganggu antara suhu testis dengan suhu tubuh. Secara normal suhu testis lebih rendah dari suhu tubuh. Karena prosuksi sperma dapat terjadi saat suhu testis lebih rendah dari suhu tubuh. Sedangkan scrotum dan testis bull yang terlalu menggantung juga dapat menyebabkan bull infertile karena lebih besar kecenderungan untuk mengayun dan rusak.

  1. Palpasi testis, epididimis dan pemeriksaan testis, hal ini dapat mendeteksi abnormalitas yang dapat mempengaruhi performan dan perkawinan.
  2. Pemeriksaan keseluruhan hewan secara lengkap dari semua fisik atau kondisi hewan. Sebagai contoh adalah kepincangan atau radang sendi (Arthritis) dan lain sebagainya juga dapat mempengaruhi produksi sperma apabila bull sering menghabiskan waktu untuk berbaring.
  3. Evaluasi semen
    1. Motilitas semen, Parameter standar untuk motilitas sperma tidak lebih dari 30%.
    2. Morfologi Semen, Morfologi normal sperma adalah 70%. Abnormalitas dari semen dibagi menjadi 2 yaitu factor utama dan faktor skunder, tergantung seperti apakah cacat yang terjadi didalam testis atau setelah sperma meninggalkan testis. Abnormalitas dapat terjadi dari berbagai factor seperti keturunan, kondisi yang stress, infeksi, meningkatnya suhu testis atau juga factor lain. Abnormalitas yang terjadi dapat bersifat sementara ataupun permanen, maka sapi pejantan harus diuji lagi 6 sampai 8 minggu kemudian (Anonim, 2009 (c)).
  4. II. Proses Pengkoleksian Semen.

Proses pengkoleksian semen dapat dilakukan dengan beberapa alat dan cara, diantaranya adalah,

 

  1. Menggunakan elektroejakulator.

Proses ini dapat dilekukan pada sapi, domba dan kambing. Pada kuda tidak dapat menerima elektroejakulator karena rangsangan listrik pada rektumnya dapat menyebabkan kontraksi pada coecumnya. Coecum dapat berkontraksi sangat kuat, dan apabila berisi makanan, coecum akan pecah dan dapat menyebabkan kematian pada kuda.

Pada sapai penggunaannya adalah elektroda-elektroda yang dapat berupa cincin atau bilah-bilah yang ditempelkan pada ebonite atau kayu yang besarnya cukup untuk memenuhi rectum. Pengunaananya adalah dengn cara memutar-mutar tombol pengatur arus listrik, voltase dapat diatur ke 0V – 2V -5V – 0V – 8V dan seterusnya, yang penting tombol pengatur harus lebih sering berada dititik 0. Untuk setiap stimulasi diperlukan waktu kurang lebih 5 – 10 detik. Pada waktu stimulasi mencapi 5-7V biasanya sudah mencapai ereksi. Ejakulasi biasanya terjadi pada stimulasi 15V, tergantung peka dan tidaknya hewan. Biasanya volume yang didapat dari cara ini adalah volumenya lebih banyak dan konsentrasi spermanya lebih rendah, jumlah sperma juga hamper sama, dan fertilitasnya lebih tinggi.

Sedangkan pada domba dan kambing lebih cepat memberi respons terhadap stimulasi elektrik daripada sapi. Sapi biasanya membutuhkan 5-10 simulasi, tetapi kambing atau domba hanya membutuhkan 3-4 stimulasi, dan biasanya pada stimulasi pertama dan kedua dengan voltase 2-5 V telah terjadi ejakulasi. Dengan alat ini pengumpulan semen pada domba dapat dilakukan pada saat domba atau kambing pada posisi berdiri maupun berbaring. Pemasukkan alat ke rectum 15-30 cm. Pada babi sama dengan kambing, ereksi sekitar pad saat stimulasi 10V, dan eajkulasi pada stimulasi 25-30 V.

 

 

 

 

  1. 2. Menggunakan vagina buatan.

 

(Anonim, 2009 (c)).

Merupakan alat untuk menggantikan vagian asli, penggunaannya biasanya menggunakan teaser terlebih dahulu, baru ketika hewan akan ejakulasi, maka penis hewan dibelokkan menuju alat ini, otomatis ejakulasi akan terjadi di alat ini. Alat ini merupakan selubun karet 30-40 cm diameternya tergantung hewan apa yang akan diambil spermanya. Bagian dalam dari alat ini adalah karet latex liner yang ujungnya ditekuk ke belakang diatas pinggiran cerobong tersebut yang berguna untuk membentuk water jacket (selubug air).

  1. 3. Massage.

Massage yang dimaksud disini adalah mengurut-urut bagian saluran reproduksi hewan jantan, hingga semen mengalir melalui penis, selanjutnya semen alan ditampung dengan tabung penampung. Yang pertama dilakukan adalah tangan masuk ke rectum untuk mencapai kelenjar vesikularis dan ampula, pengumpulan semen dengan cara ini terbatas pada sapi, kerbau dan kuda. Untuk mendapatkan hasil yang baik, jari tangan harus berpengalaman untuk mendapatkan vesika seminalis. Vesika seminalis terdapat dua dikiri dan kanan vas deferens. Setelah menemukan vesika seminalis, vesika seminalis diurut dengan ibu jari dan jari tengah, sedangkan jari telunjuk menjadi control supaya vesika seminalis tidak bergeser-geser. Mela-mula apek dari vesika seminalis ditekn dengan jari telunjuk diatas tulang pubis atau sekutarnya, lalu mulai diurut ke kaudal, diulang 3-4 x, kemudian ganti mengurut vesika seminalis satunya. Setalah melakukan message ke vesika seminalis kedua, akan menghasilkan cairan (seminal plasma dan sel-sel epithel muscosa tanpa spermatozoa) sekitar 5 ml melalui penis yang berfungsi untuk membersihkan uretra dari urin. Setelah itu tabung diganti dengan tabung spermatozoa. Kemudia dilakukan pengurutan amapula seperti yang dilakukan pada pengurutan vesika seminalis. Pengurutan dilakukan di vasdeferens dengan meletakkan vasdeferen ke atas jeri telunjuk dan menekan dengan ibu jari ke caudal sampai bertemu vasdeferens yang sebuah lagi. Pengurutan dilakukan 10-12 kali, setelah itu dpat juga kedua vasdeferens diurut bersama-sama 3-4 kali. Semen akan ditampung pada periode 2-5 menit. Apabila semen yang keluar mengandung warna merah, maka pengurutan pada vasdeferen terlalu keras. Pada umumnya semen yang ditampung dengan metode massage banyak mengandung jasad renik dan umur spermatozoa lebih pendek. Tetpai bila penempungan massage dilakukan dengan baik maka hasilnya akan sama dengan hasil menggunakan vagina buatan. Penampungan semen dengan massage dilakukan pada sapi tua yang libidonya telah lemah, dan pada spai yang lumpuh karena suatu hal (Partodiharjo, 1987).

 

  1. III. Kriteria Pemelihan Bull yang Cocok untuk Dilakukan Pengkoleksian Semen.
    1. Postur tubuh tinggi/besar, dada lebar dan dalam.
    2. Kaki kuat, lurus dan mata bersinar.
    3. Bulu halus.
    4. Testis simetris dan normal.
    5. Sex libidonya tinggi (agresif).
    6. Memberikan respon yang baik terhadap induk yang sedang berahi.
    7. Sehat dan tidak cacat.

Pertimbangan dlm seleksi bull:

1)      Breed

2)      Size

3)      Desirable traits

4)      Complementarity in cross-breeding program

5)      Marketing strategy ( Gustari, 2009)

  1. IV. Tingkah Laku dan Hormon yang Berperan dalam Reproduksi jantan.
    1. A. Tingkah Laku

Tingkah laku pada bull saat mau kawin adalah mengawal betina, meencakar dan menunduk-nunduk tanah, membuang tanah kebelalakang, mencium-cium alat kelamin-kelamin luar betina, merentangkan leher dan menyengir, menaruh dagu dan leher ke pinggul betina dengan sedikit tekanan.

Sedangkan untuk ram hal yang dilakukan adalah mencium urine betina birahi, lidah dikeluar masukkan, mendorong pelan betina dan mundur kembali, merentang berjalan disamping dan menggosok wolnya. Untuk boar mencium samping dan flank betina, menyeruduk dan menyodok diantara kaki betina secara tiba-tiba dengan moncongnya, mengangkat bagian belakang betina, menggeratakan gigi, rahang dari smaping ke samping, dan keluar buih dari mulut.

Pada stallion kelakuannya adalah mencium pinggul dan perineal betina, menggigit kulit betina dekat punggungnya merentangkan leher dan menyengir (Toelihere, 1977).

  1. B. Hormon

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Testosteron : Merupakan hormone yang terletak dan dihasilkan oleh testis tepatnya hormone ini dikeluarkan oleh sel leydig. Hormone ini penting untuk pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi serta cirri seks sekunder pada hewan jantan dan hormone ini terutama bertanggung jawab pada pembentukan spermatosit sekunder. Pelepasan hormone ini dikendalikan oleh hormone LH (Luteinizing Hormone) (Isnaeni, 2006).
  2. GnRH : Hormon ini dihasilkan oleh hipotalamus, yang berfungsi untuk merangsang hipofisis atau pituitary bagian anterior untuk mengeluarkan FSH dan LH.
  3. LH (Luteinizing Hormone) : Hormon ini disekresikan oleh kelenjar hipofisis bagian anterior. Hormon ini berfungsi untuk merangsang sel-sel leydig agar mensekresikan hormone testosterone (Syamsuri, 2003).
  4. FSH (Follicle Stimulating Hormone) : Hormon ini juga disekresikan oleh kelenjar hipofisis bagian anterior, dan berfungsi untuk mempengaruhi dan merangsang perkembangan tubulus seminiferus dan sel sertoli untuk menghasikan ABP (Androgen Binding Protein/protein pengikat androgen) yang berfungsi untuk mengikat estrogen dan testosterone dan membawa kedua hormone tersebut ke dalam cairan tubulus seminiferus,  jadi ABP juga berfungsi memacu pembentukan sperma. FSH pada khusunya berfungsi pada pembentukan spermatid menjadi spermatozoa.
  5. Estrogen : Hormon ini dihasilkan oleh sel-sel sertoli, hormone ini berfungsi untuk pematangan sperma ( Anonim, 2009 (a)).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. V. Faktor-faktor dan Mekanisme Terjadinya Libido.
    1. A. Faktor-faktor
      1. Pengaruh hormon

Keagresifan dan keinginan seksual yang meningkat dapat dikorelasikan dengan meningkatnya produksi testosteron seperti seekor jantan menjelang pubertas. Penurunan testosteron dan aktivitas seksual selama musim panas pada sapi dan babi, mungkin dihubungkan dengan aktivitas kelenjar thyroid yang menurun, yang menghasilkan kecepatan metabolik yang rendah.

  1. Interaksi seksual dan sosial

Pengalaman sosial perkembangan sebelum mencapai pubertas merupakan halyang penting untuk memperoleh aktivitas seksual yang penuh. Telah didemonstrasikan bahwa jantan-jantan yang dipelihara dalam isolasi yang sempurna tidak pernah berkembang tingkat aktivitas seksualnya setinggi jantan-jantan yang dipelihara dalam kelompok sosial. Jenis kelamin dari hewan-hewan dalam kelompok sosial tidak menjadi soal. Interaksi sosial dengan lain spesies yang sama merupakan kunci dalam memperoleh aktivitas seksual yang penuh.

  1. Indera

Indera tertentu adalah penting untuk respon kawin jantan. Indera pembau mungkin paling penting, seprti pada betina. Feromon yang ditemukan dalam urin dari betina yang estrus merupakan rangsangan terhadap jantan. Indera penglihat mungkin lebih penting untuk respon kawin jantan daripada betina. hal ini berkaitan dengan keinginan seksual daripada ke arah aspek kawin lainnya. Indera peraba penting untuk tingkah laku kopulasi yang normal pada kebanyakan pejantan. Pejantan mungkin sensitif terhadap temperatur dan tekanan.(Anonim, 2004)

Faktor-faktor lainnya yang berpengaruh adalah

  1. Genetik

Sebagai contoh adalah bull-bull bangsa sapi eropa lebih aktif menaiki pejantan-pejatan lainnya serat betina yang tidak birahi. Sedangkan sapi Brahman menunjukkan kemalasan seksual, hanya mau menaiki sapi betina yang sedang birahi saja.

  1. Lingkungan

Kelakuan kelamin biasanya berkurang pada iklim panas dan ketinggian tertentu. Domba jantan daerah dingin/subtropik umumnya kurang aktif dimusim panas tetapi lebih aktif dimusim gugur.

  1. Umur

Pejantan muda yang belum berpengalamn umumnya kaku pada saat pengambilan semen.

  1. Makanan

Tingkatan makanan yang rendah umumnya menyebabkan pejantan mudah kehabisan tenaga, defisiensi dan lain sebagainya, tetapi tidak mempengaruhi respons-respons seksual (Toelihere, 1977).

  1. B. Mekanisme

Proses libido dimulai saat ketika tubuh menerima rangsangan seksual baik melalui penglihatan, perabaan, penciuman, dan sebagainya, maka penerima stimulasi seksual akan segera bereaksi dan mengirim pesan kepada sistem syaraf yang dilanjutkan ke hipotalamus kemudian turun ke bawah melalui medulla spinalis atau sumsum tulang belakang. Selanjutnya stimulus melewati nucleus atau inti-inti syaraf otonom di S2-4 (vertebra sacralis) diteruskan ke jaringan-jaringan erektil di Corpora Cavernosa. Di dalam jaringan erectil ini, dihasilkan bermacam-macam neurotransmitter (penghantar impuls syaraf).

Salah satu akibat dari libido adalah terjadinya ereksi pada penis, prosesnya adalah dari NO (nitrogen oksida). NO dihasilkan dari oksigen dan L-Arginin di bawah kontrol sintase nitrik oksida. Sesudah terbentuk, NO dilepaskan dari neuron dan endotel sinusoid di Corpora Cavernosa. NO menembus sel otot polos yang mengaktifkan enzim yang disebut guanilyl cyclase. Guanilyl cyclase selanjutnya mengubah guanosin triphosphat (GTP) menjadi siklik guanosin Monophosphat (cGMP). Melalui beberapa proses kimiawi, cGMP membuat otot-otot polos dalam Corpora Cavernosa di dalam trabekula-trabekula dan di dalam arteriol-arteriol mengalami relaksasi sehingga seluruh pembuluh darah di Corpora Cavernosa serta sinusoid akan mengalami pelebaran atau pembesaran. Selanjutnya rongga-rongga (sinusoid) penuh dengan darah sehingga penis mulai membesar. Rongga-rongga yang terisi itu kemudian menekan pembuluh darah balik (vena) di dekatnya sehingga darah tidak bisa ke luar dari Corpora Cavernosa dan darah terperangkap di Corpora Cavernosa dan penis tambah besar sampai keras. Selama proses itu terjadi, impuls seksual terus timbul di dalam otak dan terjadi relaksasi otot-otot polos di dinding pembuluh darah dan trabekula-trabekula sehingga terjadi dilatasi (pelebaran) pembuluh darah serta pembesaran sinusoid maka penis akan terus mengeras.

Sedangkan proses menurunkan libido sehingga tidak terjadi ereksi lagi adalah dengan pengurangan cGMP sehingga tidak terjadi relaksasi otot-otot polos terus menerus. Di dalam sel otot polos di dalam Corpora Cavernosa ada mekanisme tersendiri, yakni adanya 5 yang mengubah cGMP menjadi 5 guanosine wonophospbat (SGMP), sehingga jumlah cGMP berkurang. Bila cGMP tinggal sedikit maka relaksasi otot polos akan hilang kemudian mengkerut (kontraksi) sehingga penis menjadi kecil atau kembali ke fase istirahat. Kemudian bila ada stimulasi seks, NO akan dibentuk lagi dan akhirnya cGMP akan meningkat dan otot polos akan mengalami relaksasi dan penis ereksi lagi. Selama tidak ada stimulasi seks, penis akan tetap istirahat. NO tidak diproduksi sehingga cGMP tidak terbentuk dan penis akan tetap lembek atau tidak ereksi (Anonim, 2009 (b)).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Anonim. 2004. Fisiologi Rreproduksi Ternak 1. Bagian Reproduksi dan Kebidanan. Yogyakarta : FKH UGM

Anonim. 2009 (a). Spermatogenesiswww.e-dukasi.net/mapok/mp_files/swf/f74.swf

(diakses pada tanggal 11 Juni 2009)

 

Anonim. 2009 (b). Mekanisme Terjadinya Ereksi (Tusmecensi). http://www.konseling.net/.

(diakses pada tanggal 9 Juni 2009).

 

Anonim. 2009 (c). Peternakan dan BSE pada sapi.

http://www.vet-klinik.com/Peternakan/Breeding-Soundness-Examination-BSE-pada-sapi.html

(diakses pada tanggal 8 Desember 2009)

 

Gustari, Sri. 2009. Breeding Soundness Examination. Yogyakarta : FKH UGM

(Kuliah Pengantar Blok 9 Reproduksi dan Konservasi Hewan 2009)

 

Isnaeni, wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius : Yogyakarta.

 

Partodiharjo, Soebadi. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya.

Syamsuri, Istamar. 2003. Biologi SMA kelas IX. Erlangga. Jakarta.

 

Toelihere, Mozes R. 1977. Fisiologi Reproduksi Hewan Ternak. Bandung :Penerbit Angkasa.

 

 

 

Categories: Kuliah | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.